Oleh: Ihwang Syaputra*
Oerban.com – Di tengah dunia yang serba cepat dan penuh tekanan sosial hari ini, keberanian menjadi barang langka. Banyak orang cerdas, berilmu, dan punya potensi besar tapi terhenti oleh rasa takut. Takut gagal, takut disalahpahami, takut kehilangan kenyamanan. Padahal, dalam ajaran Islam, keberanian bukan sekadar urusan nekat atau gagah berani, melainkan bagian dari karakter mulia seorang mukmin.
Dalam bahasa Arab, as-saja‘ah (الشجاعة) berarti keberanian atau keteguhan hati. Secara bahasa, berasal dari kata syaja‘a (شَجُعَ) yang berarti berani atau tidak gentar menghadapi bahaya. Namun secara istilah, as-saja‘ah adalah sifat terpuji yang membuat seseorang mantap, teguh, dan tenang dalam menghadapi kesulitan demi kebenaran tanpa melampaui batas dan tanpa rasa takut yang berlebihan.
Keberanian yang Seimbang
Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa as-saja‘ah adalah titik tengah antara dua ekstrem: nekad tanpa perhitungan, dan penakut yang tak berani melangkah.
Artinya, keberanian sejati bukanlah ketika seseorang bertindak tanpa berpikir, tapi ketika ia tetap teguh di jalan yang benar, meski penuh risiko. Orang yang syuja‘ (berani) adalah mereka yang yakin bahwa hasil akhirnya berada di tangan Allah, sementara tugasnya hanyalah melangkah dengan niat yang lurus.
Dua Wajah Keberanian: Moral dan Materiil
Ulama besar Syekh Mustafa Al-Ghalayaini membagi keberanian menjadi dua:
- As-saja‘ah al-adabiyah (moral): keberanian dalam memegang prinsip, berkata benar, menolak kebatilan, dan menegakkan keadilan.
- As-saja‘ah al-madiyah (materiil): keberanian fisik untuk bertindak di medan nyata membela diri, menolong sesama, atau memperjuangkan kebenaran.
Keduanya saling melengkapi. Tanpa keberanian moral, keberanian fisik bisa berubah menjadi kezaliman. Sebaliknya, tanpa keberanian fisik, keberanian moral akan berhenti sebagai wacana.
Teladan dari Para Sahabat
Kita belajar as-saja‘ah dari para sahabat Nabi ﷺ, seperti Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu yang dijuluki asyja‘un-nas (orang paling berani). Ia maju di medan perang, namun tak pernah berbuat zalim. Nabi ﷺ sendiri bersabda:
“Bukanlah orang kuat itu yang menang dalam gulat, tetapi orang kuat adalah yang mampu menahan dirinya ketika marah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini menegaskan bahwa keberanian sejati tak hanya diukur dari kekuatan fisik, tapi juga kekuatan moral dan spiritual keberanian menundukkan hawa nafsu dan menegakkan kebenaran di tengah tekanan.
Bangsa yang Kehilangan Keberanian
Jika bangsa ini kehilangan as-saja‘ah, maka kehancuran tinggal menunggu waktu. Negara akan menjadi seperti harta rampasan yang terbagi-bagi: rakyat diam, pemimpin takut mengambil keputusan, dan kezaliman dibiarkan tanpa perlawanan. Dalam situasi seperti itu, moral bangsa perlahan terkikis dan umat kehilangan kehormatannya.
Sayangnya, keberanian kini sering disalahpahami. Ada yang terlalu takut bertindak, ada pula yang gegabah tanpa arah. Padahal, as-saja‘ah adalah keberanian yang terukur: berani karena benar, bukan karena emosi.
Melatih Keberanian di Zaman Modern
Generasi muda hari ini menghadapi tantangan berbeda. Bukan lagi perang fisik, tapi perang mental dan nilai. Di era media sosial, banyak yang berani berkomentar, tapi tak berani menanggung konsekuensi. Banyak yang vokal di dunia maya, tapi diam ketika kebenaran harus dibela di dunia nyata.
Padahal, as-saja‘ah bukan bakat bawaan, tapi karakter yang bisa dilatih. Ia tumbuh dari keimanan, pengalaman, dan latihan menghadapi ketakutan. Rasulullah ﷺ mendidik sahabatnya bukan hanya agar pintar berbicara, tapi juga berani menanggung risiko perjuangan.
Berani Karena Allah
Keberanian seorang mukmin lahir dari keyakinan bahwa tidak ada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah. Ia melangkah bukan karena percaya diri, tapi karena percaya kepada Allah.
Maka siapa pun kita pemimpin, aktivis, jurnalis, mahasiswa, atau orang biasa as-saja‘ah adalah modal dasar untuk menunaikan amanah hidup.
Berani berkata benar. Berani berbuat baik. Berani melangkah di jalan Allah, meski sendirian.
Karena tanpa keberanian, ilmu hanya jadi wacana, iman hanya jadi hiasan, dan umat hanya jadi penonton sejarah.

