email : [email protected]

25 C
Jambi City
Wednesday, December 4, 2024
- Advertisement -

Implikasi Pengharmonisasian, Pembulatan dan Pemantapan Terhadap Rancangan Perda

Populer

Oleh: Sari Dewi Oktara*

Oerban.comPeraturan Daerah harus selalu konsisten dan tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Hal ini mengacu pada prinsip hierarki peraturan perundang-undangan yang telah ditetapkan. Dalam konteks ini, diperlukan sebuah proses yang dikenal sebagai Pengharmonisasian. Proses ini merupakan bagian penting dalam rangkaian pembentukan peraturan perundang-undangan dengan tujuan untuk mencegah terjadinya disharmonisasi hukum. Dengan melakukan Pengharmonisasian, norma-norma yang ada di dalam peraturan perundang-undangan dapat disusun dengan cara yang sejalan, sehingga tercipta keselarasan di antara berbagai peraturan yang ada.

Harmonisasi norma hukum sangat penting untuk mencapai ketertiban dalam sistem hukum yang ditegakkan di suatu negara. Ketika norma-norma tidak harmonis, muncul risiko konsekuensi negatif yang dapat mengganggu efektivitas sebuah peraturan. Jika hukum tidak berfungsi dengan baik, maka peraturan yang lebih rendah dalam hierarki dapat kehilangan kegunaannya, yang pada gilirannya dapat mengakibatkan kerumitan dalam pelaksanaan hukum secara umum. Oleh karena itu, menjaga keseimbangan dan keselarasan antar peraturan merupakan hal yang sangat penting dalam konteks hukum.

Berdasarkan Pasal 97D dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 yang memuat perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dijelaskan bahwa proses Pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan konsep Rancangan Peraturan Daerah Provinsi harus diperhatikan. Hal serupa juga berlaku untuk Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Dengan kata lain, prinsip-prinsip yang terkandung dalam pengharmonisasian dan penataan konsepsi peraturan daerah harus diterapkan secara mutatis mutandis terkait dengan rancangan peraturan yang dibuat oleh kepala daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.

Baca juga  Kunjungi ANRI, La Nyalla Lengkapi Data untuk Kembalikan UUD ke Naskah Asli

Apabila terjadi disharmonisasi dalam peraturan perundang-undangan, beberapa masalah serius dapat muncul. Pertama, perbedaan penafsiran dalam pelaksanaan hukum dapat terjadi, menyebabkan kebingungan di kalangan masyarakat dan pelaksana hukum. Kedua, disharmonisasi dapat menghasilkan ketidakpastian hukum, yang dapat mengganggu kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum. Ketiga, peraturan perundang-undangan tidak akan dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien, memberikan dampak negatif terhadap pelaksanaan hukum. Terakhir, disfungsi hukum akan terjadi, di mana hukum gagal untuk memberikan pedoman perilaku bagi masyarakat, tidak dapat mengendalikan sosial, tidak mampu menyelesaikan sengketa dan tidak dapat menjalankan perannya sebagai alat untuk mengubah sosial secara teratur. Oleh karena itu, langkah-langkah dalam menjaga harmonisasi antar peraturan sangatlah penting.

Pada tingkat daerah, untuk memastikan bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan berjalan selaras dan harmonis dengan peraturan-peraturan yang ada pada tingkat yang sama maupun yang lebih tinggi, sangat dibutuhkan adanya suatu lembaga yang memiliki fungsi khusus. Lembaga ini bertugas untuk melaksanakan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan dari berbagai peraturan perundang-undangan yang disusun di tingkat daerah. Dengan diundangkannya perubahan kedua atas terutama pada Pasal 58 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, terjadi perubahan signifikan dalam peran yang dijalankan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

Sebelumnya, DPRD berfungsi sebagai institusi yang mengkoordinasikan dan menjalankan proses pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan bagi Rancangan Peraturan Daerah serta Rancangan Peraturan Kepala Daerah. Sekarang, tanggung jawab tersebut beralih kepada Menteri atau kepala Lembaga yang mengelola urusan pemerintahan di bidang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dalam hal ini adalah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham).

Baca juga  MENANTI PEMILIHAN REKTOR PTN: REKTOR IDAMAN, REKTOR KEBANGGAAN

Perubahan kewenangan ini diatur dengan jelas dalam Pasal 58 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Pasal tersebut menyatakan bahwa pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi dari Rancangan Peraturan Daerah Provinsi akan dilakukan di bawah koordinasi menteri atau kepala lembaga yang berwenang dalam bidang ini.

Lebih lanjut, pelaksanaan dari proses tersebut juga menjadi tanggung jawab menteri atau kepala lembaga yang terkait. Untuk itu, dengan adanya pergeseran kewenangan tersebut, Kemenkumham dituntut untuk menyiapkan beragam instrumen yang diperlukan untuk berfungsi sebagai koordinator dan pelaksana dalam pengharmonisasian, pembulatan serta pemantapan konsepsi Rancangan Peraturan Daerah dan Rancangan Peraturan Kepala Daerah.

Ketentuan ini juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, yang telah mengalami beberapa perubahan, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang. Dalam perubahan tersebut, Pasal 251 diubah untuk menekankan agar peraturan daerah (Perda) dan peraturan kepala daerah (Perkada) tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, asas dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, serta keputusan-keputusan pengadilan.

Untuk mencapai tujuan tersebut, para penyusun Perda dan Perkada perlu melakukan koordinasi dengan kementerian yang bertanggung jawab terhadap urusan pemerintahan dalam negeri, serta melibatkan para ahli dan/atau instansi vertikal di daerah yang memiliki tugas dalam pengaturan pembentukan peraturan perundang-undangan, yaitu Kemenkumham. Sejalan dengan semangat desentralisasi dan otonomi daerah, kini pembentukan Perda mengalami peningkatan baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Peningkatan ini dianggap sebagai hal yang positif dalam mengembangkan pemerintahan di tingkat daerah. Meskipun demikian, penting untuk dicatat bahwa pembentukan peraturan daerah oleh entitas otonom tetap harus dilakukan dalam kerangka sistem perundang-undangan nasional. Ini berarti bahwa baik dari segi material maupun formal, setiap Perda merupakan bagian dari satu kesatuan hukum nasional yang lebih besar.

Pemberian otonomi daerah telah menciptakan suasana kompetitif di antara pemerintah daerah di tingkat provinsi, kabupaten, dan kota. Setiap daerah berupaya untuk merumuskan peraturan daerah (Perda) yang beragam dan sesuai dengan karakteristik serta kebutuhan masyarakat setempat.

Baca juga  Nyalang

Namun, dalam proses ini, sering kali muncul masalah signifikan terkait dengan kualitas dan keefektifan Perda yang dihasilkan. Masalah-masalah ini tidak jarang berujung pada pembatalan peraturan oleh instansi berwenang, yang menunjukkan bahwa meskipun ada kemajuan dalam jumlah dan jenis Perda yang dihasilkan, tantangan yang ada tidak dapat dianggap sepele. Situasi ini menyoroti pentingnya memiliki mekanisme pengawasan yang ketat serta upaya untuk menyelaraskan peraturan-peraturan tersebut agar sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

Dengan demikian, perlu adanya perhatian khusus untuk memastikan bahwa peraturan yang diberlakukan benar-benar bermanfaat dan dapat diimplementasikan dengan baik demi kesejahteraan masyarakat. Keberadaan pengawasan dan harmonisasi yang efektif menjadi kunci untuk mendorong pembuatan peraturan yang tidak hanya banyak, tetapi juga berkualitas tinggi dan sesuai dengan aspirasi masyarakat. Hal ini penting agar dapat meminimalisir potensi konflik hukum dan menciptakan kepastian bagi masyarakat yang menjadi subjek dari Perda tersebut.

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah memberikan dasar penting untuk perlunya harmonisasi Raperda. Hal ini dijelaskan melalui beberapa alasan yang relevan. Pertama, dalam konteks pembuatan peraturan daerah, Perda memiliki kemungkinan untuk diuji oleh Pemerintah melalui proses bernama executive review. Proses ini berjalan bersamaan dengan judicial review yang dilakukan oleh Mahkamah Agung. Kedua, adanya jaminan bahwa setiap kegiatan pembentukan Perda dilaksanakan sesuai dengan asas-asas hukum yang berlaku, sehingga memberikan kepastian hukum bagi masyarakat. Ketiga, terdapat hierarki dalam sistem peraturan perundang-undangan yang mengharuskan setiap peraturan untuk saling mendukung dan berkaitan satu sama lain. Ini sangat penting dalam mempertahankan prinsip negara kesatuan, di mana peraturan yang ada harus saling melengkapi. Keempat, harmonisasi ini bertujuan untuk melindungi pemerintahan daerah dari risiko kerugian, baik yang bersifat material maupun moril. Kerugian material dapat berupa kerugian finansial akibat ketidakpastian hukum, sementara kerugian moril berhubungan dengan reputasi dan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah daerah. Kesemua alasan ini menekankan pentingnya proses harmonisasi dalam pencapaian tata kelola pemerintahan yang lebih baik.

Pengharmonisasian Raperda merupakan langkah penting dalam proses pembentukan Peraturan Daerah (Perda) yang melibatkan investasi waktu dan usaha dari berbagai pihak, termasuk Kementerian Hukum dan HAM. Proses ini menjadi krusial karena memastikan bahwa Raperda yang diusulkan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku serta tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.

Namun, penting untuk dicatat bahwa tidak semua tingkat dalam proses pembentukan Perda memerlukan tahap pengharmonisasian ini, karena ada bagian yang mungkin cukup tanpa melalui proses tersebut. Untuk itu, sumber Raperda dapat berasal dari dua pihak utama, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan Kepala Daerah. Ketika Raperda diusulkan oleh DPRD, inisiatif tersebut sudah diatur dan dijamin oleh undang-undang, memberikan landasan hukum yang kuat bagi DPRD untuk aktif dalam penyusunan peraturan daerah. Proses penyusunan Raperda oleh DPRD dapat dilakukan oleh anggota komisi yang memiliki tanggung jawab khusus dalam hal legislasi, atau melalui alat kelengkapan DPRD yang berfungsi dalam pengawasan dan pengembangan hukum.

Jika Raperda diusulkan oleh Kepala Daerah, maka tahap penyusunan akan dilakukan melalui Sekretariat Daerah atau melalui biro hukum yang berada di bawah naungan pemerintah daerah. Proses ini bukan hanya melibatkan satu pihak, melainkan merupakan usaha kolaboratif antara eksekutif dan legislatif. Dalam kerangka kerja sama ini, tujuan utama adalah untuk memastikan bahwa semua sudut pandang yang ada dapat diakomodasi dengan baik.

Baca juga  REFORMASI BERDARAH

Penggabungan berbagai perspektif ini sangat penting, karena akan menghasilkan satu rancangan peraturan yang komprehensif dan inklusif. Melalui proses harmonisasi dan kolaborasi yang kuat, diharapkan Raperda yang dihasilkan mampu mencerminkan kebutuhan serta aspirasi masyarakat secara menyeluruh. Ini berarti bahwa hasil akhir dari penyusunan Raperda tidak hanya sekadar memenuhi kepentingan yang bersifat formal, tetapi juga harus berfungsi secara efektif dalam tatanan hukum daerah.

Dengan demikian, Raperda tersebut diharapkan dapat menjadi instrumen yang bermanfaat bagi masyarakat, memberikan dampak positif, dan meningkatkan kualitas kehidupan di daerah tersebut. Inisiatif ini menciptakan ruang untuk partisipasi masyarakat dan mendapatkan umpan balik yang berguna, sehingga Raperda yang disusun dapat terus disempurnakan sesuai dengan dinamika yang berkembang dalam masyarakat.

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 membawa perubahan signifikan dalam mekanisme harmonisasi Rancangan Peraturan Daerah (Perda). Sebelumnya, proses harmonisasi ini dikelola oleh Biro Hukum Pemerintahan Daerah, namun kini tanggung jawab tersebut beralih kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Perubahan ini menandai pergeseran dalam cara kontrol norma dilakukan. Sebelumnya, kontrol norma bersifat yuridis-represif yang dilakukan melalui proses uji materiil di Mahkamah Agung. Dengan adanya undang-undang ini, kontrol tersebut kini menjadi lebih administratif-preventif, di bawah pengawasan Kementerian Dalam Negeri. Meskipun terjadi pergeseran dalam metode kontrol norma, perubahan ini tetap sejalan dengan prinsip otonomi daerah.

Baca juga  Rapat Paripurna Sepi OPD, Kamaludin Havis Minta Pejabat yang Tidak Berkomitmen Direshuffle

Hal ini penting untuk dicatat, karena daerah-daerah tersebut memiliki status sebagai daerah otonom. Otonomi daerah memberikan hak kepada setiap daerah untuk mengatur dan mengelola urusan pemerintahan mereka sendiri, sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik lokal. Dengan demikian, meskipun ada perubahan dalam struktur pengawasan dan harmonisasi, daerah tetap memiliki kebebasan untuk menjalankan pemerintahan mereka dengan cara yang dianggap paling sesuai. Proses ini mencerminkan upaya untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas dalam pembuatan peraturan daerah, sekaligus menjaga kepatuhan terhadap norma-norma hukum yang berlaku.

*Program Studi Magister Ilmu Hukum, Universitas Jambi 2024.

- Advertisement -

Artikel Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisement -spot_img

Berita Terbaru