Gorontalo, Oerban.com – Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia (PERMAHI) Cabang Gorontalo mendesak Polda Gorontalo untuk mengusut tuntas dugaan pemalsuan ijazah yang menyeret nama Wakil Bupati Gorontalo Utara, Nurjana Hasan Yusuf. Kasus ini kini dikonfirmasi telah masuk dalam tahap penanganan kepolisian.
Dugaan pemalsuan muncul setelah ditemukan sejumlah kejanggalan dalam riwayat pendidikan Nurjana. Berdasarkan data yang beredar, ia tercatat bersekolah di SMP Negeri 4 Buluwangun, Jakarta, pada tahun 1982, namun baru memiliki ijazah SMA Gorontalo tahun 2002.
Selain itu, yang bersangkutan juga diketahui memiliki ijazah Paket C tahun 2012, sehingga terdapat dua ijazah berbeda dengan jarak sepuluh tahun. Rentang waktu sekitar 20 tahun antara masa SMP dan SMA dinilai tidak wajar oleh sejumlah kalangan.
“Bayangkan, dari SMP tahun 1982 ke SMA tahun 2002 ada jarak 20 tahun. Lalu, muncul lagi ijazah Paket C tahun 2012. Ini bukan sekadar tidak lazim ini mencurigakan,” ujar Rian, Sekretaris Umum DPC PERMAHI Gorontalo, dalam keterangan tertulis yang diterima media, Sabtu (2/11/2025).
PERMAHI menilai, dua ijazah dengan waktu berbeda tersebut berpotensi melanggar Pasal 263 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang pemalsuan surat, dengan ancaman hukuman hingga enam tahun penjara. Organisasi mahasiswa hukum itu meminta Polda Gorontalo melakukan penyelidikan forensik dokumen untuk memastikan keaslian ijazah yang digunakan pejabat publik tersebut.
Sementara itu, Bupati Gorontalo Utara dalam keterangannya kepada media mengakui bahwa kasus dugaan pemalsuan ijazah Wakil Bupati telah resmi ditangani oleh Polda Gorontalo.
“Kasus ini sudah ditangani pihak kepolisian,” ujar Bupati saat menanggapi aksi unjuk rasa Aliansi Mahardika di Gorontalo Utara, Jumat (1/11/2025).
Menanggapi hal itu, PERMAHI menegaskan pentingnya transparansi proses hukum agar publik tidak mencurigai adanya intervensi atau perlindungan politik terhadap pejabat daerah.
“Bupati sudah mengakui kasusnya sedang diusut. Sekarang bola ada di tangan Polda Gorontalo. Kami minta aparat bertindak profesional dan terbuka kepada publik,” lanjut Rian.
PERMAHI juga menilai bahwa dugaan ijazah ganda ini bukan hanya masalah administratif, tetapi juga krisis moral dan integritas pejabat publik.
“Integritas pejabat publik tidak bisa dibangun di atas dokumen yang diragukan. Jika sejarah pendidikan pun kabur, maka legitimasi moral jabatan itu ikut goyah,” tegas Rian.
Organisasi mahasiswa hukum itu menyatakan akan terus mengawal jalannya penyelidikan hingga ada kejelasan hukum terkait dugaan pemalsuan ijazah tersebut.
Editor: Alfi Fadhila

