Oleh: Irfan Enjo*
Oerban.com – Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) merupakan organisasi pergerakan mahasiswa yang memiliki ideologi dan sistem keorganisasian yang matang. Peran sebagai mitra kritis pemerintah menjadi poros gerakan KAMMI. Nama Fahri Hamzah dan Andi Rahmat menjadi dua icon politisi kritis dan cerdas yang lahir dari aktivisme KAMMI sebagai gerakan mahasiswa.
Persoalan mendasar KAMMI sampai hari ini adalah tidak bisa “merdeka” dari rentang kendali salah satu partai politik. Sudah menjadi rahasia umum di kalangan kader KAMMI bahwa Ketua Umum sudah terpilih jauh hari dari sebelum pandaftaran calon Ketua Umum KAMMI dibuka, “ada keputusan sebelum keputusan”. Hal ini juga terjadi dalam Muktamar 13 KAMMI di NTB, Ketua Umum PP KAMMI sudah terpilih sebelum muktamar, hasil operasi salah satu partai politik. Isu ” taklimat” dan “taburan uang transport daerah” merebak, meskipun susah dibuktikan.
Dalam Rakornas KAMMI beberapa hari lalu di Palembang, para peserta RAKORNAS sepakat untuk memberi Rekomendasi Kepada Majelis Pertimbangan Pusat (MPP) KAMMI agar memberikan skorsing kepada Ketua Umum PP KAMMI Jundi Khalifatullah. Rekomendasi ini lahir disebabkan gaya kepemimpinan Jundi yang “elitis”, tidak ” guyub” dengan kader, cenderung menjauh dari ideologi organisasi dan lebih mendekat kepada kekuasaan.
Di forum strategis seperti RAKORNAS yang dihadiri PW dan PD KAMMI se-Indonesia Jundi tidak hadir dari awal hingga sidang berakhir. Bagaimana mungkin Jundi bisa menjalankan amanah secara efektif jika dalam forum organisasi yang strategis dia tidak hadir?
Dipimpin Jundi, PP KAMMI memang lebih cenderung merapat pada kekuasaan dan kehilangan independensinya. Ditambah dalam mengelola organisasi semakin menjauh dari ideologi organisasi dan cenderung pragmatis.
Keretakan Jundi dengan sang Sekjend, dan diamnya posisi bendahara menjadikan kepemimpinan PP KAMMI di bawah Jundi tidak solid dan semakin tidak efektif. Wajar, jika tuntutan skorsing Ketua Umum PP KAMMI direkomendasikan dari PW dan PD ke MPP, bahkan mungkin saja berujung pelengseran bisa saja terjadi.
Sikap PW dan PD KAMMI ini perlu di apresiasi sebagai bentuk “kontrol” dan “indepedensi” dari salah satu partai politik. PW dan PD berani bersikap tegas dan keras terhadap Ketua Umum “titipan” DPP parpol, demi efektif jalannya roda organisasi PP KAMMI.
Usia 27 tahun, harusnya menjadi usia yang cukup bagi KAMMI menjadi organisasi yang independen dan mandiri. Letakkan marwah gerakan dan marwah organisasi pada posisi mulia, tidak terjebak pada pragmatisme dan kepentingan-kepentingan politik praktis.
Dari kasus Jundi, kader-kader KAMMI harus belajar; jangan pernah menitipkan masa depan organisasi kepada “taklimat” partai dan tawaran-tawaran logistik sesaat. Masa depan KAMMI harus di bingkai dengan ideologi dan peta jalan yang jelas.
*Penulis merupakan Ketua KAMMI Jakarta 2000-2002 dan Wakil Ketua Umum KAKAMMI 2020-2024.