Oleh : Ihsan Perdana*
Oerban.com — Kebebasan akademik dan ruang diskusi yang seharusnya menjadi nyawa universitas kini kian terancam. Kasus terbaru di Universitas Adiwangsa Jambi (Unaja) menunjukkan bahwa kampus yang seharusnya menjadi tempat tumbuhnya gagasan kritis, justru menjadi ruang yang membatasi kebebasan berpikir mahasiswa.
Universitas adalah rumah bagi ilmu pengetahuan. Di dalamnya, berbagai pemikiran diuji, gagasan bertumbuh, dan wacana intelektual berkembang. Namun, bagaimana jika kebebasan akademik yang seharusnya dijunjung tinggi justru mendapat pembatasan?
Inilah yang terjadi di Unaja, ketika sebuah dialog publik yang seharusnya berlangsung di dalam kampus tidak mendapatkan izin dari pihak universitas. Tidak ada alasan akademik yang jelas, hanya sekadar pernyataan administratif bahwa acara tidak boleh diselenggarakan di lingkungan universitas.
Pemindahan Dialog ke Rumah Kebangsaan Siginjai
Ketika ruang diskusi di kampus tertutup, panitia akhirnya memindahkan kegiatan ke Rumah Kebangsaan Siginjai. Hal ini menjadi ironi tersendiri: mahasiswa justru harus mencari tempat lain untuk berdiskusi karena kampus yang seharusnya menjamin kebebasan akademik tidak memberikan ruang.
Ketua pelaksana acara, Hanshen Alharmain, menyampaikan kekecewaannya terhadap keputusan kampus. Ia menilai pelarangan ini tidak memiliki dasar yang jelas dan justru mengarah pada pembungkaman mahasiswa.
“Keputusan civitas akademik yang melarang dialog publik di lingkungan kampus memunculkan dugaan pembungkaman kepada mahasiswa,” ujarnya.
Ia juga menegaskan bahwa kebebasan berkumpul dan berpendapat telah dijamin dalam UUD 1945 Pasal 28E.
Dugaan Pembungkaman dan Ketakutan Terhadap Pemikiran Kritis
Pembatasan ruang diskusi mahasiswa ini bukan hanya persoalan administratif semata, melainkan juga cerminan dari tren pembungkaman intelektual yang terjadi di berbagai kampus di Indonesia. Presiden Mahasiswa Unaja, Saputra Butarbutar, menilai bahwa kampus semakin membatasi gerakan mahasiswa, khususnya dalam mengadakan diskusi publik.
“Pihak kampus mungkin menganggap diskusi ini terlalu sensitif, padahal kegiatan ini justru menjadi ajang bagi mahasiswa untuk menguji gagasan intelektual melalui ide-ide kreatif yang dikemukakan,” jelasnya.
Ketakutan terhadap diskusi kritis bisa menjadi sinyal bahwa ada sesuatu yang disembunyikan atau dikhawatirkan oleh pihak kampus. Padahal, kampus seharusnya menjadi tempat yang aman bagi setiap pemikiran untuk diuji dan diperbincangkan, bukan malah ditutup rapat.
Dampak bagi Kebebasan Akademik
Kejadian ini bukan sekadar pelarangan satu kegiatan, melainkan gejala yang lebih besar: kampus perlahan kehilangan jati dirinya sebagai pusat kebebasan akademik. Jika dibiarkan, pembatasan semacam ini dapat menjadi preseden buruk bagi masa depan mahasiswa.
Mahasiswa sebagai kaum intelektual tidak hanya belajar di dalam kelas, tetapi juga melalui diskusi dan debat terbuka. Kampus yang membatasi kebebasan intelektual justru mencederai misinya sendiri sebagai lembaga pendidikan tinggi.
Jika universitas mulai takut terhadap pemikiran kritis mahasiswa, lalu ke mana lagi mahasiswa harus mencari ruang untuk berdiskusi? Jika diskusi akademik di dalam kampus dianggap sebagai ancaman, lalu di mana lagi ilmu pengetahuan bisa berkembang dengan bebas?
Kampus seharusnya menjadi tempat di mana kebebasan berpikir dihargai, bukan dibungkam. Sebab, ketika ruang akademik semakin menyempit, yang terancam bukan hanya mahasiswa, tetapi juga masa depan demokrasi dan kebebasan intelektual di negeri ini.
*Penulis Merupakan formatur pertama HMI Komisariat (P) Unaja