Oleh: Julisa*
Oerban.com — Dalam rangka memperingati Hari Kartini, kita diingatkan kembali pada semangat perjuangan Raden Ajeng Kartini yang kini terus berkembang dalam wajah baru. Semangat emansipasi perempuan yang dahulu diperjuangkan melalui surat-surat kini telah menjelma menjadi gerakan masif di dunia digital.
Perempuan Indonesia terus melanjutkan perjuangan Kartini dalam bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan, keterbatasan akses informasi, dan kekerasan berbasis gender, khususnya di ruang daring.
Tiap tanggal 21 April, bangsa Indonesia memperingati Hari Kartini sebagai penghormatan terhadap perjuangan Raden Ajeng Kartini, sosok perempuan yang keberaniannya melampaui zamannya.
Dari ruang sunyi di Jepara, Kartini menuliskan keresahan dan harapan dalam surat-surat yang menjadi warisan pemikiran dan semangat emansipasi perempuan.
Kartini wafat di usia yang sangat muda, namun warisan gagasannya tentang kesetaraan dan pendidikan perempuan terus menyala dan relevan, bahkan hingga hari ini.
Dalam era digital yang begitu cepat dan kompleks, pertanyaan pun muncul: masihkah semangat Kartini hidup? Atau, dalam bentuk apa semangat itu berkembang?
Jawabannya: semangat Kartini tidak hanya hidup, tetapi ia menjelma menjadi bentuk perjuangan baru yang tak kalah hebat melawan kekerasan berbasis gender, memperjuangkan kesetaraan akses teknologi, hingga membuka ruang aman bagi perempuan di dunia maya.
Kartini dalam Surat, Kartini dalam Layar
Pada abad ke-20, Kartini menulis surat kepada Abendanon, Direktur Pendidikan Hindia Belanda, yang kemudian dibukukan menjadi karya monumental Door Duisternis tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang).
Dalam surat-surat itu, Kartini mengungkapkan kekecewaan atas keterbatasan akses perempuan pada pendidikan dan peran sosial.
“Saya mau perempuan memperoleh kebebasan, bekerja untuk kemajuan dirinya, bebas dan merdeka seperti laki-laki.” — R.A. Kartini
Kini, jika dahulu Kartini menyampaikan gagasannya lewat pena dan kertas, maka Kartini masa kini menulis lewat status, unggahan, video pendek, hingga konten edukatif di YouTube dan TikTok. Semangatnya tetap sama: menolak diam.
Di era digital, perempuan tidak hanya menjadi konsumen informasi, tetapi juga produsen, penggerak, dan pemimpin narasi. Mereka mengangkat isu perempuan, hak asasi, pendidikan, dan keadilan di berbagai platform digital.
Ini adalah evolusi dari perjuangan yang dahulu diperjuangkan Kartini, bukan sekadar hak membaca, tetapi hak menyuarakan gagasan di ruang publik.
Literasi Digital sebagai Wajah Baru Emansipasi
Kartini dahulu bermimpi agar perempuan bisa membaca dan menulis. Kini, mimpi itu telah meluas: perempuan harus melek teknologi, memahami hak-haknya di dunia maya, dan mampu menggunakan teknologi sebagai alat pembebasan, bukan perbudakan baru.
Namun di balik euforia digitalisasi, bahaya baru juga muncul. Dunia maya tidak selalu menjadi ruang yang aman bagi perempuan. Kekerasan berbasis gender secara daring (online gender-based violence/OGBV) semakin marak terjadi.
Data Terkini: Kekerasan Seksual dan Digital
Menurut laporan Komnas Perempuan tahun 2023, tercatat:
• 457.895 kasus kekerasan terhadap perempuan selama satu tahun.
• 70% kasus merupakan kekerasan seksual, baik dalam relasi personal, rumah tangga, maupun komunitas.
• 38% terjadi di ruang digital, menunjukkan meningkatnya kekerasan berbasis teknologi.
Sementara itu, SAFEnet (Southeast Asia Freedom of Expression Network) dalam survei tahun 2022 menemukan:
• 76% korban kekerasan digital adalah perempuan usia 18–35 tahun.
• Bentuk paling umum adalah cyber harassment, non-consensual intimate content, dan cyberstalking.
• 55% korban tidak melaporkan kejadian, karena takut stigma, tidak tahu harus ke mana, atau tidak percaya penegakan hukum.
Data Kekerasan Terhadap Perempuan (2023–2024)
• Tahun 2023: Komnas Perempuan mencatat 289.111 kasus kekerasan terhadap perempuan, mengalami penurunan sekitar 12% dibandingkan tahun sebelumnya.
• Tahun 2024: Jumlah kasus meningkat menjadi 445.502 kasus, naik sekitar 10% dari tahun sebelumnya.
Jenis Kekerasan yang Dominan
Menurut Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2024, jenis kekerasan yang paling banyak dilaporkan adalah:
• Kekerasan seksual: 17.305 kasus
• Kekerasan fisik: 12.626 kasus
• Kekerasan psikis: 11.475 kasus
• Kekerasan ekonomi: 4.565 kasus
Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO)
• Pada triwulan I tahun 2024, SAFEnet mencatat 480 kasus KBGO, meningkat lebih dari 300% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
• Korban terbanyak berada pada rentang usia 18–25 tahun (57%), diikuti oleh anak-anak di bawah 18 tahun (26%).
• Bentuk kekerasan meliputi pemerasan seksual, penyebaran konten intim tanpa izin, dan perundungan daring.
“Kekerasan terhadap perempuan bukan hanya persoalan hukum, tapi juga budaya. Budaya yang masih diam ketika perempuan disakiti.” — Andy Yentriyani, Ketua Komnas Perempuan
Kartini Digital: Sosok-Sosok Inspiratif dari Dunia Nyata
1. Alya Puspita – Teknologi untuk Pendidikan Perempuan
Di Yogyakarta, seorang perempuan muda bernama Alya Puspita (32) mendirikan startup edukasi berbasis aplikasi. Platform ini menyediakan akses belajar daring gratis untuk siswa-siswi di daerah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar).
“Saya ingin anak perempuan di desa saya bisa belajar sains dari HP, tanpa harus ke kota besar,” ujar Alya.
Platform tersebut kini digunakan oleh lebih dari 12.000 siswa di seluruh Indonesia, dan 65% penggunanya adalah perempuan.
Bagi Alya, semangat Kartini berarti mempermudah akses belajar, terutama bagi perempuan yang terkendala geografi dan ekonomi.
2. Nadia, 19 Tahun, Penyintas dan Aktivis KBGO
Nadia (nama samaran) adalah penyintas kekerasan seksual digital. Setelah melalui terapi dan proses hukum yang melelahkan, ia kini aktif membuat konten edukasi tentang kekerasan seksual di TikTok dan Instagram.
“Dulu saya merasa kecil. Tapi sekarang saya tahu, suara saya penting. Saya bukan satu-satunya korban, dan saya tidak sendiri.”
Akun Nadia telah memiliki lebih dari 50.000 pengikut, dan menjadi rujukan penting dalam edukasi hukum, psikologi trauma, dan perlindungan digital.
Ruang Aman, Ruang Digital
Di tengah gempuran konten viral, hoaks, dan ujaran kebencian, para perempuan Indonesia membangun komunitas yang saling mendukung. Dari ruang-ruang kecil ini, lahir kekuatan yang besar.
Beberapa gerakan digital berbasis perempuan yang menonjol:
• @Konde.co – media alternatif yang fokus pada isu gender, keadilan sosial, dan demokrasi.
• @PerEMPUan.id – edukasi feminisme dan isu kekerasan seksual.
• @PurpleCode Collective – komunitas keamanan digital feminis.
“Dunia maya bukan hanya tempat perempuan dipantau, tapi tempat perempuan bangkit dan membela satu sama lain.” — Mira Kusumarini, aktivis keamanan digital
Pendidikan, Undang-Undang, dan Arah Gerakan ke Depan
Perjuangan semangat Kartini juga menuntut perbaikan di ranah kebijakan dan pendidikan. Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang disahkan pada 2022 adalah titik penting, namun pelaksanaan dan sosialisasinya masih belum maksimal.
Sebagian besar masyarakat belum tahu bahwa mereka bisa mengakses pendampingan hukum, psikologis, dan perlindungan jika menjadi korban kekerasan seksual, apalagi dalam ranah digital.
Beberapa tantangan ke depan:
• Literasi digital dan hukum bagi masyarakat umum.
• Pelatihan guru dan sekolah tentang pencegahan kekerasan seksual.
• Penguatan komunitas berbasis lokal dan digital.
• Meningkatkan partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan, terutama di bidang teknologi dan media.
Penutup: Dari Gelap Menuju Terang Digital
Lebih dari se-abad sejak surat-surat Kartini ditulis, terang yang dijanjikan akhirnya datang dalam berbagai bentuk: aplikasi, jaringan internet, komunitas daring, hingga gelombang baru aktivisme digital.
Namun perjuangan belum selesai. Masih banyak perempuan yang belum merdeka, masih banyak ketakutan yang membungkam suara mereka. Di sinilah pentingnya meneruskan semangat Kartini, bukan hanya dengan mengenang, tetapi dengan bertindak.
“Habis gelap terbitlah terang, dan terang itu kini menyala dari layar-layar kecil di tangan perempuan Indonesia.”
*Penulis merupakan Editor Oerban.com